Rabu, 21 Januari 2009

Belajar gamelan Bali



Dalam proses pembentukan apapun, memulai adalah sesuatu yang lebih sulit dari tahapan berikutnya. Anggapan ini tak jauh beda dari sebuah proses pembelajaran dalam memainkan gambelan-gambelan di Bali. Ketika orang-orang terpukau menyaksikan sebuah pentas seni atau konser karawitan, rata-rata mereka hanyut dalam kekaguman oleh penampilan dan keterampilan mereka (penabuh). Namun sujatinya, untuk dapat tampil memukau, para pemukul gambelan itu juga memulainya dari proses yang cukup panjang. Dari muruk megambel (belajar memainkan gamelan) kemudian muruk nabuh (belajar komposisi lagu), hingga akhirnya tampil wah…

Megambel berarti memukul gambelan. Proses ini barangkali sebuah awal dari pembelajaran diatas. Dimana proses pembelajaran itu dimulai benar-benar dari nol besar. Artinya penguruk (guru) gamelan itu benar-benar mengajar muridnya dari tidak tahu sama sekali menjadi tahu. Katakanlah cara memegang panggul (alat pukul), pengenalan nada gamelan, tehnik memukul dan tetekep(pengaturan panjang-pendek nada), sikap serta pengetahuan dasar lainnya. Tentu telah terbayang bagaimana proses itu. Bila sanggar sebagai medianya, tentu proses ini dikemas profesional. Bagainama bila proses ini terwujud di balai banjar-balai banjar, tentu tak jauh dari cerita suka, duka dan terkadang lucu. Terutama interaksi antara penguruk (guru) dan murid. Terlebih obyeknya adalah anak-anak. Syukur murid itu berbakat kearah itu. Bila tidak, kesabaran penguruk (guru) sering digoyang emosi. Bagi penguruk yang cukup sabar tentu emosi sesaat dialihkan. Ada yang jeda sesaat untuk bermain bola dengan anak didiknya, untuk kemudian dilanjutkan belajar lagi.

Namun tak jarang penguruk guru) megambel, tak kuasa menahan emosi, hingga terwujud dalam laku dan kata terhadap anak didiknya. Kadang ucapan-ucapan emosi penguruk terdengar lucu. Misal yang sering terdengar dalam situasi belajar megambel di desa-desa. Nyak be cai pianak I Dadag (kamu persis seperti ayahmumu pak Dadag), Cai ngelen-ngelen dogen jubel alih mu (kamu nggak konsen cari saja jubel /sejenis serangga air di sawah), liman caine kiladin bojog (tanganmu kaku habis dikentuti kera), dan sebagainya. Namun anehnya mereka murid dan orang tuanya tak pernah memasalahkan. Maklum para penguruk (guru) di desa-desa, biasanya mereka para relawan yang karena predikat dan profesinya itu, punya posisi sosial dalam masyarakat.

Kini adegan-agegan lucu terkadang keras dalam proses ngurukan (mengajar) kian berkurang, tentunya karena telah banyaknya relawan professional, yang mau terjun ke masyarakat untuk ngurukang megambel. Tapi apapun adanya itulah proses awal mencetak anak-anak bisa megambel, yang kemudian dilanjutkan pada tahapan berikutnya, mempraktekkannya dalam sebuah gending atau tabuh. Tahapan ini mungkin tepat disebut muruk nabuh (belajar komposisi lagu). Bila semua ini telah terlewati niscaya mereka jadi penabuh-penabuh handal. Namun yang perlu diingat, para penguruk megambel, yang nota bena mereka sebagian besar penabuh alam, jangan sampai terlupakan ketika anak didik mereka telah menjadi penabuh – penabuh (pemain gamelan) mumpuni. iba

1 komentar:

  1. Rahajeng sore Tu Aji,
    Om Swastyastu.

    Maaf sebelumnya. Tiang Agung Rai. Umur tiang sekarang 28 Tahun. Sejak kecil memang jauh dari kesenian Bali. Dan dikeluarga juga tidak ada yang mengarahkan tiang ke jalur seni. Tapi baru baru ini tiang berpikir sebagai seorang Aji dan orang Bali, tiang ingin bisa megambel, belajar dari nol. Di banjar tiang ada sekeha Gong Banjarnya dan ada juga yang anak-anak. Tapi tiang malu untuk ikut belajar disana. Mohon bimbingannya untu belajar megambel Tu Aji.

    Suksma ping banget.

    Agung Rai Rahmayuda

    BalasHapus