Senin, 26 Januari 2009

Bertetangga

Sungguh fasih lidah ini mengatakan kata – kata tentang tetangga itu. Patut demikian sebab sujatinya kata bertetangga adalah warisan leluhur yang pada jamannya dulu bukan untuk dibicarakan, melainkan diwujudkan dan difahami serta dilestarikan melalui prilaku normatif, hingga tercipta kerukunan, kedamaian dalam bertetangga. Yang kini menjadi warisan agung, yang tak usah dibicarakan berlebihan hingga terkesan menjadi sesuatu yang over acting.

Perlahan dapat dikatakan tetangga adalah, kelompok rumah tangga –rumah tangga, dalam artian penghuni dan areal pekarangannya, dalam variasi jarak. Semakin dekat jarak masing – masing areal rumah tangga itu, semakin dekat pula pergaulannya, hingga kekeluargaan dan kerukunan terjalin dengan baik. Demikian juga sebaliknya.

Di Bali pada jaman dulu, mereka atau sebuah keluarga, biasa menukar Pekarangan Rumahnya (tanah desa adat), dengan yang lainnya hanya untuk dapat bertetangga lebih dekat dengan sebuah rumah tangga lainnya. Kinipun demikian, mereka membeli BTN, atas dasar kekariban pergaulan. Jadi bertetangga itu sesungguhnya ada, dari keakraban, kecocokan sekelompok rumah tangga. Nah, kemudian belakangan ini terjadi pergeseran makna tentu disebabkan oleh statemen – statemen dan prilaku berlebihan, hingga timbul berbagai masalah bertetangga, yang sujatinya terjadi karena keihlafan pada pemahaman keagungan sejarahnya.

Ada beberapa yang harus difahami lebih awal tentang bertetangga, bahwasannya mereka bertetangga karena ada unsur kecocokan antara rumah tangga disekitarnya. Tentunya dengan batasan-batasan tertentu. Yang satu ini harus dipegang teguh, hingga pada saatnya nanti lahirkan kearifan cara berfikir, berbicara dan berbuat dalam bertetangga. Seperti yang juga fasih diucapkan sampai sekarang oleh orang hawam sekalipun. ‘jangan ikut campur, itu urusan rumah tangganya.’ Dari kalimat sederhana itu dapat disimpulkan bahwasannya tetangga tidak berhak atas segala urusan rumah tangga lainnya. Nah kemudian apa peran bertetangga itu?

Sepertinya disebutkan di atas, bertetangga itu ada, karena adanya unsur kecocokan rumah tangga – rumah tangga (keluarga) untuk hidup berdampingan dalam sebuah areal – areal pekarangan. Areal pekarangan inilah merupakan pembatas antar keluarga, baik secara geografis maupun permasalahan lainnya. Semestinya telah gampang dijabarkan dalam sikap prilaku sebenarnya, yang berinti wind-wind solution.

Bila terjadi masalah dalam sebuah rumah tangga (keluarga), hendaknya berikan keluasaan, kepada keluarga tersebut untuk menyelesaikannya sendiri. Bila tak klar, keluarga rumah tangga tersebut, boleh mencari pertimbangan pada tetangga lainnya. Atau boleh juga atas inisiatif / kepedulian tetangga untuk mendatangi keluarga bermasalah itu. Tentu juga misinya penyelesaian masalah tanpa ada unsur keberpihakan. Hal ini berlaku pula untuk masalah antar rumah tangga dalam bertetangga.

Bila hal ini mampu dilakukan, niscaya akan terwujud keakraban, kebahagiaan dan kedamaian dalam rumah tangga dan bertetangga itu. Hal ini juga tak terbatas hanya pada skup kecil bertetangga. Untuk ruang bertetangga yang lebih luaspun, formula ini layak dipanuti. Misal bertetangga desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, Negara dan bertetangga dengan dunia lainpun masih layak. Dengan demikian betapa damainya kehidupan di dunia ini, bila saja semuanya tidak over acting kemudian menyia – nyiakan energi, hanya untuk menafsirkan bertetangga. Pada intinya ini hanya intermeso. Hak azasi dengan berbagai kemerdekaannya, tetap merupakan junjungan tertinggi. Ujungnya, terserah anda! iba

Tidak ada komentar:

Posting Komentar