Kamis, 29 Januari 2009

Kontaminasi Over Property, dalam Perkembangan Tari



Jaman sekarang tepat dikatakan era instant. Artinya segalanya diharapkan serba cepat, jauh melebihi kecepatan proses normatif. Tak terbatas pada produk – produk makanan atau sejenis lainnya. Pewujudan karya seni pun demikian adanya. Hingga pemotongan proses secara semena – mena, mengkontaminasi kwalitas seni yang dihasilkan. Misal instanisasi semena – mena yang terjadi dalam perkembangan seni tari.

Seni tari di kantong – kantong wilayah pewaris seni budaya / tradisi di bumi nusantara ini, diyakini berkembang secara serempak tanpa ada komando. Dinamika ini terjadi oleh tuntutan jaman instant semena – mena itu, hingga seni tari bersumber pada tradisi pun, ikut-ikutan kena himbas instanisasi. Seperti mempercepat proses penciptaan, pembentukan dan penuangan sebuah karya tari, akibat kejar tayang. Menggunakan alat bantu (property) secara berlebihan dan sebagainya. Padahal dari berbagai proses yang diabaikan, justru membuat kurangnya kwalitas pentas seni tari itu dari berbagai aspeknya.

Dari percepatan proses penciptaan, pembentukan dan penuangan sebuah tari akibat kejar tayang, adalah sebuah proses yang sebenarnya bertolak belakang dari hakikat pewujudan karya seni tari tradisi, atau bersumber pada tradisi jaman sebelum ini. Sebab seniman sebelumnya berkarya atas inspirasi yang sangat pribadi, yang dijajal dalam kematangan proses dan tanpa di intimidasi waktu. Proses ini tentu telah diuji coba dalam berbagain situasi, sampai pencipta merasakan kepuasan dari berbagai aspeknya. Kemudian dipublikasikan dalam bentuk karya tari standar dari berbagai aspeknya.

Dari penampilan secara umum, karya tari dulu tampak sangat sederhana, baik dari kostum maupun komposisi tarinya. Kemudian selalu tampil memukau dan mudah dikembangkan, tentu karena kematangan proses itu. Seperti misalnya komposisi - komposisi tari di Bali. Tari Nelayan tak membawa dayung dan jala. Tapi akibat kematangan proses, kemampuan ekspresi serta totalitas penghayatan penarinya, toh biasa memukau audien / penonton dalam pemahamannya. Demikian juga tari sejenis lainnya, sangat beda dengan tari – tari kreasi bersumber tradisi di jaman instant ini.

Kemudian tari dalam sendratari juga demikian. Di Bali belakangan ini boleh dikatakan sendratari terwujud hanya untuk konsumsi PKB (Pesta Kesenian Bali) saja. Anehnya, penampilan glamornya di stage terbuka Ardha Chandra Denpasar, justru berada dalam kesemuan karya seni khususnya seni tari. Penggunaan property berlebihan adalah penyebab utamanya. Bayangkan saja, penari yang seharusnya berekspesi gagah, tiba – tiba berwajah ketakutan, karena property gajah yang ditungganginya, tersandung lipatan karpet alas stage. Dan banyak kejadian lucu lainnya. Hal ini juga berpengaruh pada sosialisasi sebuah karya tari selanjutnya.

Coba diingat, sedikit dari banyak sekali sendratari produk PKB, dapat berkembang di masyarakat umum. Hanya karena mereka minim biaya atau tak punya panggung luas. Lain dengan sendratari sebelum jaman ini. Amoman membakar Bumi Alengka hanya dengan gerak dan ekspresi, bukan membawa obor. Rajapala pun mengintip tujuh bidadari mandi seolah telanjang dalam air. Demikian juga karya tari sejaman lainnya.

Tanpa ada niat mempersalahkan pihak – pihak didalamnya, peristiwa ini serentak terjadi di daerah – daerah pewaris seni berakar tradisi itu. Maka sudah sepatutnya diupayakan untuk menimalisir kemudian memberanguskan hal – hal yang senantiasa wujudkan kemanjaan berkesenian, hingga sampai pada penyusutan kwalitas karya seni, seni tari pada khususnya.

Moga tulisan ini mampu membuat pihak – pihak berkompeten terjaga dari buaian negatif jaman instant ini dengan komitmen tanpa jeda tawar. Khusus untuk di Bali, penterjagaan buaian ini, telah disepakati masing – masing kabupaten dan kota, dimulai dari even Pesta Kesenian Bali (PKB) juni tahun ini. Bahwasannya tak akan ada property dalam pentas tari.iba

Selasa, 27 Januari 2009

Cinlok, Kegagalan Seni Peran


Cinlok adalah singkatan dari cinta lokasi. Bila diartikan secara sederhana adalah, dimulainya hubungan kasih asmara yang terjadi di lokasi syuting antara pemeran utama pria dengan pemeran utama wanita, dan pasangan peran sejenis lainnya. Yang terjadi senantiasa karena tuntutan peran dan skenario.

Betapa terasa naïf istilah itu, sebab hanya mengakumudir sebagian kecil saja dari komponen situasi seperti di atas. Maksudnya, dalam sebuah lokasi syuting masih banyak komponen lainnya seperti awak – awak production lainnya, termasuk juga masyarakat di wilayah syuting itu, yang bisa/dapat juga jatuh cinta di lokasi itu. Misal antara juru kamera pria dengan artis pemeran pembantu, antara penduduk di lokasi syuting dengan tukang masak crew syuting, dan sebagainya. Apa bisa dikatakan mereka juga cinlok?

Semestinya “bisa.” Cuma mereka tak dipublikasikan oleh infotainment atau media lainnya, karena kalah popularitas, atau bahasa gaulnya kini, “ga penting kalee..!” Sehingga istilah cinlok ini seolah diaklamasi hanya untuk para artis, yang jatuh cinta di lokasi syuting, yang cendrung penyebab utamanya adalah ‘peran’ yang dituntun skenario.

Kemudian dalam berbagai media, hal ini dipublikasikan hingar - bingar. Artinya di dalamnya hanya ada senyuman, kesenangan, kebanggaan dan sebagainya, tanpa ada perimbangan pembahasan sisi lainnya, yang mungkin berharga negatif terhadap cinlok itu. Bahkan dapat dikatakan, cinlok adalah ‘sebuah kegagalan seniman dalam seni peran.’

Barangkali masuk diakal, sebab sebelumnya telah dilakukan casting - casting, bagi pemeran (artis), yang barangkali bermakna penseleksian berbagai aspek yang dibutuhkan sebuah produksi audio visual. Justru terpenting di dalamnya adalah kemampuan acting para pemainnya.

Kemudian di beberapa kenyataannya dalam situasi sebuah syuting, pemeran utama pria A, dalam sebuah syuting jatuh cinta dengan pemeran wanita B. Kemudian di freme lainnya, A jatuh cinta lagi dengan C, D, E dan seterusnya, demikian pula sebaliknya, apakah peristiwa ini hal yang membanggakan?

Tentu tidak. Inilah yang dimaksud ‘kegagalan seni peran kita.’ Mereka (para artis) jatuh cinta seribu kali bukan merupakan larangan. Namun bila dilihat dari bidang seninya, tentu merupakan sebuah masalah. Bisakah artis secara individu, dikatakan artis hebat. Atau dapatkah seni peran dikatakan berhasil, ketika para artis hanyut dibawa peran sampai ke kehidupan nyatanya? Syukur tak semua artis gampang cinlok. Namun Sekecil apapun peristiwa ini adalah sebuah tamparan bagi perkembangan seni pertunjukan di tanah air ini. Tentu merupakan masalah yang harus diupayakan untuk diminimalisir. Kemudian siapa yang mampu? Kita semua atau paling tepat para empu seni pertunjukan. iba

Senin, 26 Januari 2009

Bertetangga

Sungguh fasih lidah ini mengatakan kata – kata tentang tetangga itu. Patut demikian sebab sujatinya kata bertetangga adalah warisan leluhur yang pada jamannya dulu bukan untuk dibicarakan, melainkan diwujudkan dan difahami serta dilestarikan melalui prilaku normatif, hingga tercipta kerukunan, kedamaian dalam bertetangga. Yang kini menjadi warisan agung, yang tak usah dibicarakan berlebihan hingga terkesan menjadi sesuatu yang over acting.

Perlahan dapat dikatakan tetangga adalah, kelompok rumah tangga –rumah tangga, dalam artian penghuni dan areal pekarangannya, dalam variasi jarak. Semakin dekat jarak masing – masing areal rumah tangga itu, semakin dekat pula pergaulannya, hingga kekeluargaan dan kerukunan terjalin dengan baik. Demikian juga sebaliknya.

Di Bali pada jaman dulu, mereka atau sebuah keluarga, biasa menukar Pekarangan Rumahnya (tanah desa adat), dengan yang lainnya hanya untuk dapat bertetangga lebih dekat dengan sebuah rumah tangga lainnya. Kinipun demikian, mereka membeli BTN, atas dasar kekariban pergaulan. Jadi bertetangga itu sesungguhnya ada, dari keakraban, kecocokan sekelompok rumah tangga. Nah, kemudian belakangan ini terjadi pergeseran makna tentu disebabkan oleh statemen – statemen dan prilaku berlebihan, hingga timbul berbagai masalah bertetangga, yang sujatinya terjadi karena keihlafan pada pemahaman keagungan sejarahnya.

Ada beberapa yang harus difahami lebih awal tentang bertetangga, bahwasannya mereka bertetangga karena ada unsur kecocokan antara rumah tangga disekitarnya. Tentunya dengan batasan-batasan tertentu. Yang satu ini harus dipegang teguh, hingga pada saatnya nanti lahirkan kearifan cara berfikir, berbicara dan berbuat dalam bertetangga. Seperti yang juga fasih diucapkan sampai sekarang oleh orang hawam sekalipun. ‘jangan ikut campur, itu urusan rumah tangganya.’ Dari kalimat sederhana itu dapat disimpulkan bahwasannya tetangga tidak berhak atas segala urusan rumah tangga lainnya. Nah kemudian apa peran bertetangga itu?

Sepertinya disebutkan di atas, bertetangga itu ada, karena adanya unsur kecocokan rumah tangga – rumah tangga (keluarga) untuk hidup berdampingan dalam sebuah areal – areal pekarangan. Areal pekarangan inilah merupakan pembatas antar keluarga, baik secara geografis maupun permasalahan lainnya. Semestinya telah gampang dijabarkan dalam sikap prilaku sebenarnya, yang berinti wind-wind solution.

Bila terjadi masalah dalam sebuah rumah tangga (keluarga), hendaknya berikan keluasaan, kepada keluarga tersebut untuk menyelesaikannya sendiri. Bila tak klar, keluarga rumah tangga tersebut, boleh mencari pertimbangan pada tetangga lainnya. Atau boleh juga atas inisiatif / kepedulian tetangga untuk mendatangi keluarga bermasalah itu. Tentu juga misinya penyelesaian masalah tanpa ada unsur keberpihakan. Hal ini berlaku pula untuk masalah antar rumah tangga dalam bertetangga.

Bila hal ini mampu dilakukan, niscaya akan terwujud keakraban, kebahagiaan dan kedamaian dalam rumah tangga dan bertetangga itu. Hal ini juga tak terbatas hanya pada skup kecil bertetangga. Untuk ruang bertetangga yang lebih luaspun, formula ini layak dipanuti. Misal bertetangga desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, Negara dan bertetangga dengan dunia lainpun masih layak. Dengan demikian betapa damainya kehidupan di dunia ini, bila saja semuanya tidak over acting kemudian menyia – nyiakan energi, hanya untuk menafsirkan bertetangga. Pada intinya ini hanya intermeso. Hak azasi dengan berbagai kemerdekaannya, tetap merupakan junjungan tertinggi. Ujungnya, terserah anda! iba

Rabu, 21 Januari 2009

Belajar gamelan Bali



Dalam proses pembentukan apapun, memulai adalah sesuatu yang lebih sulit dari tahapan berikutnya. Anggapan ini tak jauh beda dari sebuah proses pembelajaran dalam memainkan gambelan-gambelan di Bali. Ketika orang-orang terpukau menyaksikan sebuah pentas seni atau konser karawitan, rata-rata mereka hanyut dalam kekaguman oleh penampilan dan keterampilan mereka (penabuh). Namun sujatinya, untuk dapat tampil memukau, para pemukul gambelan itu juga memulainya dari proses yang cukup panjang. Dari muruk megambel (belajar memainkan gamelan) kemudian muruk nabuh (belajar komposisi lagu), hingga akhirnya tampil wah…

Megambel berarti memukul gambelan. Proses ini barangkali sebuah awal dari pembelajaran diatas. Dimana proses pembelajaran itu dimulai benar-benar dari nol besar. Artinya penguruk (guru) gamelan itu benar-benar mengajar muridnya dari tidak tahu sama sekali menjadi tahu. Katakanlah cara memegang panggul (alat pukul), pengenalan nada gamelan, tehnik memukul dan tetekep(pengaturan panjang-pendek nada), sikap serta pengetahuan dasar lainnya. Tentu telah terbayang bagaimana proses itu. Bila sanggar sebagai medianya, tentu proses ini dikemas profesional. Bagainama bila proses ini terwujud di balai banjar-balai banjar, tentu tak jauh dari cerita suka, duka dan terkadang lucu. Terutama interaksi antara penguruk (guru) dan murid. Terlebih obyeknya adalah anak-anak. Syukur murid itu berbakat kearah itu. Bila tidak, kesabaran penguruk (guru) sering digoyang emosi. Bagi penguruk yang cukup sabar tentu emosi sesaat dialihkan. Ada yang jeda sesaat untuk bermain bola dengan anak didiknya, untuk kemudian dilanjutkan belajar lagi.

Namun tak jarang penguruk guru) megambel, tak kuasa menahan emosi, hingga terwujud dalam laku dan kata terhadap anak didiknya. Kadang ucapan-ucapan emosi penguruk terdengar lucu. Misal yang sering terdengar dalam situasi belajar megambel di desa-desa. Nyak be cai pianak I Dadag (kamu persis seperti ayahmumu pak Dadag), Cai ngelen-ngelen dogen jubel alih mu (kamu nggak konsen cari saja jubel /sejenis serangga air di sawah), liman caine kiladin bojog (tanganmu kaku habis dikentuti kera), dan sebagainya. Namun anehnya mereka murid dan orang tuanya tak pernah memasalahkan. Maklum para penguruk (guru) di desa-desa, biasanya mereka para relawan yang karena predikat dan profesinya itu, punya posisi sosial dalam masyarakat.

Kini adegan-agegan lucu terkadang keras dalam proses ngurukan (mengajar) kian berkurang, tentunya karena telah banyaknya relawan professional, yang mau terjun ke masyarakat untuk ngurukang megambel. Tapi apapun adanya itulah proses awal mencetak anak-anak bisa megambel, yang kemudian dilanjutkan pada tahapan berikutnya, mempraktekkannya dalam sebuah gending atau tabuh. Tahapan ini mungkin tepat disebut muruk nabuh (belajar komposisi lagu). Bila semua ini telah terlewati niscaya mereka jadi penabuh-penabuh handal. Namun yang perlu diingat, para penguruk megambel, yang nota bena mereka sebagian besar penabuh alam, jangan sampai terlupakan ketika anak didik mereka telah menjadi penabuh – penabuh (pemain gamelan) mumpuni. iba